Rabu, 12 Desember 2012

Edit

Identitas itu Subjektif.





Memperhatikan gambar diatas, saya langsung terpikir sebuah pembahasan terkait Identitas. Saya ingat saat duduk di kelas Cultural Studies, sebuah mata kuliah yang awalnya memperkenalkan diri menjadi sebuah momok namun lama-kelamaan menjadi candu. Segala hal tidak pernah mutlak, bukan oposisi biner dan terletak di area abu-abu, penilaian yang selalu diberi jawaban relative. Seperti potret tiga identitas diatas, yang cukup mewakili area abu-abu tersebut.

Penggambaran akan identitas, momen pembentukan sebuah pribadi, dan bagaimana identitas tersebut dideskripsikan kepada orang lain. Dalam Cultural studies, masalah identitas ini mempermasalahkan bagaimana kita menjadi seperti apa kita sekarang. Bagaimana kita mengidentifikasi diri kita (atau secara emosional menanamkan diri kita) dengan diskripsi-diskripsi sebagai laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, tua atau muda. Namun, mereka yang punya keyakinan antiesensialisme mempunyai pendapar bahwa identitas bukanlah suatu yang eksis. Identitas bukan hal yang ditemukan, namun ia dibentuk dan diciptakan.

Sekarang, mari kita sedikit menyederhanakan pembahasan tentang identitas ini. Selama ini yang kita maksud sebagai identitas lebih pada sebuah bukti otentik pada selembar kertas yang menyebutkan nama, profesi, dan data lain tentang seseorang. Bukti otentik tersebut biasa kita sebut dengan KTP, ID card, SIM, dsb. Identitas tersebut menjadi sangat penting sebagai sebuah bukti pengakuan seseorang menjadi “hak milik” sebuah negara. Tanpa identitas, akhir-akhir ini kita akan dipertanyakan statusnya, apakah illegal, atau teroris?.

Mencoba memaknai identitas lebih dalam, maka akan kita peroleh penjelasan bahwa identitas adalah hal yang diciptakan, bukan lagi hal yang taken for granted. Subjektivitas dan identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat tidak pasti (contingent). Karenanya, identitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial.

Kembali ke ilustrasi foto diatas, secara identitas dalam kertas, mereka ada dua, laki-laki dan perempuan. Namun secara sosial dan budaya kita perlu melakukan perhatian lebih untuk menginterpretasikannya. Identitas yang disebut Laki-laki tersebut beberapa orang akan menyebut dia adalah sosok yang laki-laki banget, bahkan kita tidak perlu mengecek jari kelingkingnya keriting atau tidak. Penilaian lain, dia pasti anak band karena rambutnya mengingatkan pada seorang musisi. Bahkan baju yang dia gunakan juga ingin menunjukkan dan mempertegas identitas kelaki-lakiannya.

Bergeser ke perempuan yang berada di tengah, dia menggunakan busana feminine yang menunjukkan sosok perempuan memang seorang pribadi yang lembut, anggun seperti baju yang ia kenakan. Bahasa tubuhnya juga harus diatur seperti priyayi kalau orang jawa menyebutnya. Bandingkan dengan perempuan terakhir, dengan bahasa tubuh tertawa lebar. Padahal, dalam budaya timur, perempuan itu semuanya harus diatur, karena “saru” atau kurang baik bila tidak menjaga sopan santunnya.

Meskipun perempuan terakhir memakai baju dengan lengan ‘lace’ atau borkrat, tapi statement gambar di bagian depan itu menunjukkan kalau dia itu perempuan yang maskulin. Gaya rambut berantakan tanpa perlu pita atau ditata serapi perempuan sebelumnya juga memperkuat itu. Seharusnya ada satu lagi penggambaran identitas di foto tersebut, lelaki rapi jali, atau lelaki kulit porcelain, yang sekarang sedang hits. Lelaki yang ketika dia diam tidak ketahuan apakah jari kelingkingnya keriting.

Semua penggambaran identitas diatas cukup menunjukkan bahwa lingkungan, dan metamorphosis gaya hidup sangat menentukan sebuah identitas seseorang. Sama halnya, kalau secara sederhana )namun sedikit mengandung sara), seorang yang menikah beda agama dan akhirnya memutuskan seagama maka ada identitas yang berubah di KTPnya.

Identitas apa yang ingin kita pilih?. Kalau menurut saran saya identitas yang ingin anda tunjukkan itu boleh sesubjektif mungkin, namun tetap mengingat kodrat mutlak yang akan kita pertanggungjawabkan nanti. Selamat mencari identitas diri (sebuah kata-kata yang sering menjadi statement seseorang ketika disuruh mendeskripsikan dirinya)….

 menteng, 121212, 07:51 PM

Daftar bacaan = Barker, Chris. 2000. Cultural Studies Teori Dan Praktik. Bantul (Yogyakarta): Kreasi Wacana.

Senin, 10 Desember 2012

Edit

kenapa ini?ini kenapa?

saya merasa gagal..
blog ini kan seharusnya selalu update post minimal, ya MINIMAL satu bulan sekali, tapi??
terakhir update oktober masa??
oohhhh, saya harus benar-benar memaksakan diri untuk menulis di blog ini.
meskipun apa yang dipakasakan katanya itu tidak baik, tapi untuk yang satu ini saya mau dipaksa.
iya..
paksa saya, paksa saya... :D

yang pasti akan saya update dalam minggu ini :)

menteng, 101212, 12.45PM

Rabu, 31 Oktober 2012

Edit

Satu yang berbagai makna; sebuah proses.

source: Ocra Photography



Dalam narasi bagaimana blog ini tercipta saya pernah mengatakan tentang kekaguman saya terhadap sebuah objek visual, foto. Objek yang seolah-olah menceritakan maknanya kepada saya tiap kali saya melihatnya, meskipun kadang-kadang yang diceritakan itu berbeda-beda. Foto ritme air menetes tetap menjadi favorit saya, beberapa momen terekam dalam satu frame.

Momen pertama, tetesan air yang masih berada di titik paling atas, belum jatuh, memiliki porsi paling kecil. Momen kedua aliran tetesan, yang lebih panjang menuju gaya gravitasinya, ke bawah. Momen ketiga adalah pola yang terbentuk, gelombang yang indah. Terakhir adalah efek yang bisa menggetarkan seluruh permukaan air.

Dari cerita tersebut saya memaknai bahwa suatu hal kecil bisa membuat perubahan besar dengan sebuah proses. Kita analogikan saya momen pertama, tetesan kecil ini adalah kita, manusia yang ingin membuat perubahan. Dengan mengingat sebuah proses yang tidak mudah ia lalu melanjutkan proses ke momen kedua. Proses gravitasi untuk mencapai dasar sampai ia menyentuh permukaan air. Setelah dia sampai di permukaan, dia masih belum berhenti, gelombang-gelombang atau getaran akan terus tercipta. Banyaknya gelombang inilah tujuan utama tetesan air, sebuah perubahan.

Bila tetesan ini semakin menjauhi permukaan, maka gelombang yang terjadi juga semakin bertambah, sehingga sebuah proses yang lebih lama akan menghasilkan perubahan lebih matang dan lebih besar.  Seperti hidup, semakin kamu berada jauh di langit-langit maka gaya gravitasi akan membuatmu merasa terpelanting lebih keras. Gaya gravitasi, sebuah konsep yang harusnya dipegang untuk bisa tetap menjalani hidup secara selaras, menurut saya.

Tumbukan, pantulan, gaya gravitasi, getaran, gelombang, dan masih banyak lagi istilah Fisika yang selalu membuat kita bingung di bangku sekolah, ternyata masih akan terus berproses untuk membingungkan kita. Karena semua bila kembali ke hukum fisika maka akan bertemu sebuah ilmu pasti, saklek, tidak bisa ditawar. Padahal, hidup itu relatif, meskipun dalam fisika juga dikenal hukum relativitas.

Sepertinya semakin membingungkan, melebar kemana-mana dan absurd kalau saya teruskan, jadi saya langsung menarik sebuah kesimpulan saja, menuju intinya. Sebuah proses yang dapat dimaknai dalam foto diatas. Ketika kita ingin membuat sebuah gelombang yang indah teruslah ingat akan gaya gravitasi, sejauh apapun kamu pergi, ingatlah sebuah tempat yang kau sebut rumah. Sebuah proses selalu menemukan keterkaitan satu dengan yang lain, bisa menjadi sebuah sistem, struktur, atau tidak keduanya, yang pasti mereka berkaitan.

Menteng, 311012, 07:14 PM

Rabu, 17 Oktober 2012

Edit

Budaya (selalu) menjadi alasan





source: tumblr.com
Gambar pertama ini terlihat seorang perokok yang mana wajahnya pun tak terlihat karena tertutup oleh asap rokok yang melimpah. Hal itu mungkin ia lakukan dengan sengaja, ia ingin identitasnya tak terlihat, ia ingin memberi kesan misterius. Bagi sesama perokok mungkin pertanyaan ‘merk rokok apa’ yang bisa menghasilkan asap sebanyak itu?. Kalau kata ibu saya, cowok ini sedang berusaha mengusir nyamuk hutan yang mulai berdatangan karena cuaca semakin gelap.

source: tumblr.com


Untuk gambar kali ini terlihat sangat artistis, menurut saya, cowok ini masih terlihat ganteng dengan rokoknya. Sepertinya, produsen rokok akan laku keras bila menggunakannya sebagi model. Segmentasi baru akan hadir, rokok untuk cowok-cowok alay.

source: tumblr.com


Gambar berikut hampir sama dengan photo sebelumnya, cowok ini masih tetap ganteng dengan rokoknya. Ia justru memberikan kesan misterius serius, posisi tubuh seolah mempunyai arti rokok adalah temannya saat merenung, saat membutuhkan ‘me’ time, saat ia mencari inspirasi. Dan ini adalah gambar favorit saya :).

Selanjutnya, bagaimana dengan gambar ini???
Source : Ocra Photography 


Gambar yang terakhir ini adalah hasil jepretan photographer saya, dia memberi judul superior untuk foto ini. Karena terlihat dari perbandingan ekspresi kedua perempuan tersebut. Namun saya kali ini ingin membahas perihal fenomena ini, terutama di Indonesia. Kalau kita melihat perempuan merokok apa sih yang terpikir?, pasti pencitraan negative yang ada. Lalu bagaiana kalau yang merokok seperti ibu diatas?. Secara usia, terlihat sudah paruh baya, lokasi ada di hutan?, apakah tetap kesan buruk yang terdeskripsikan?. Pasti pemaknaan foto diatas akan kembali pada kebiasaan budaya setempat, bisa saja ibu tersebut memang tinggal di daerah dengan budaya yang menganggap wajar bagi perempuan untuk merokok. Bisa saja merokok ini mempunyai fungsi tertentu, untuk sedikit menghangatkan tubuh saat udara dingin, misalnya, entahlah. Tapi kenapa ketika seorang perempuan di dalam café terlihat asap rokok keluar dari mulutnya kesan buruk yang muncul?.
 Sungguh asyiknya permainan budaya ini, keberagaman yang tak terbatas namun selalu diberi batasan oleh manusia.

Citarik, 24032012, 09:11 PM
Edit

Lingkaran Kesunyian; Spiral of silence.



source: Ocra Photography

“kelompok monoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas”

Setiap orang sering punya pendapat, namun sedikit yang mengungkapkannya.
Setiap orang sering tidak sependapat, namun memilih untuk diam.
Setiap orang sering masuk dalam lingkaran kesunyian, spiral of silence.
Karena, setiap orang merasa berada dalam wilayah minoritas.

Ironis memang sebuah keadaan kaum minoritas yang meski jumlah mereka mayor, kalah dengan mayoritas yang lebih memiliki andil dibalik keminoran mereka. Hal inilah yang dalam ilmu komunikasi disebut dengan keadaan “spiral of silence”, lingkaran kesunyian. Teori ini dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neuman, yang memberikan gambaran mengenai hubungan antara pendapat mayoritas dengan minoritas dalam suatu kelompok masyarakat.

Perbedaan pendapat masyarakat minoritas dan mayoritas adalah manifest dan laten. Opini yang bersifat laten dari masyarakat minoritas ini berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang bersifat manifes (nyata di permukaan), dan itulah inti dari teori ini. Sekarang mari kita improvisasi dengan realisasi yang lebih sederhana, karena seperti maksud dari blog saya, piece of cake, ingin membuat segala hal itu mudah dimengerti.

Misalnya saja dari gambar yang saya jadikan analogi teori ini, (lihat gambar diatas J). Sepintas kita akan melihat sebuah kaum yang bisa kita sebut “wong cilik” ini sedang pasrah, menerima nasib bahwa dia memang tempatnya di bawah, tak dapat tempat duduk. Bisa juga hanya kesan dramatis yang disengaja diambil dari sudut pengambilan gambar oleh si photographer, teman saya, sebut saja atam, karena itu memang namanya. Kita secara sadar atau tidak dibawa masuk ke dalam maksud dari efek pengambilan gambar. Tapi kita tidak pernah menilai dari sudut pandang “lelaki bersandal pink ini”.

Pernahkah kita berpikir bahwa lelaki bersandal pink ini lebih nyaman dengan duduk di bawah. Dia ingin melihat realita dengan sudut pandang yang berbeda. Kita saja yang kadang terlalu memberikan generalisasi pada “wong cilik”, mungkin perasaan iba atau kasihan. Padahal mereka sendiri kadang tidak suka dengan perasaan itu. Mungkin perlu diingat, jangan mengasihani seseorang bila kau tak mampu memberi solusi. Lalu intinya dengan spiral of silence?, kalau menurut perspektif saya, pendapat lelaki tentang zona nyaman ia naik kereta tidak terungkap, dan kita terlalu berpikir general, ikut mayoritas.

Contoh lain, akan saya ilustrasikan dengan lebih mudah, sebuah pengalaman pribadi selama perjalanan tiap hari, pulang pergi ke kantor dengan metromini. Berita tentang kendaraan keluar masuk jalur busway menjadi isu nasional, bahkan pernah salah satu menteri harus meminta maaf di media massa karena tertangkap basah masuk jalur busway. Namun ternyata hal itu tidak berhenti, saya masih sering keluar masuk jalur busway, bersama metromini dan semua penumpangnya. Setiap kali berada di dalam jalur saya hanya bisa diam, mau turun toh tidak akan merubah keadaan, justru akan dilihat merepotkan oleh orang lain. Saya menjadi minoritas di dalam metromini, pendapat saya menjadi laten.

Satu lagi, jangan pernah mengira bahwa setiap rombongan mobil berplat merah di kawal vooridjer itu selalu bersifat penting, darurat, dan patut didahulukan. Saya pernah berada di dalam bus suatu kementerian di Indonesia. Mereka menggunakan fasilitas vooridjer hanya untuk menghindari macet, padahal mereka di dalam bus hanya tidur, karaoke, dan bercengkerama tanpa alur yang jelas. Namun saya menggunakan fasilitas itu dan tidak menikmatinya.

Ah, terkadang kita perlu mendengarkan pendapat lelaki bersandal pink ini.

Tebet, 240112, 01:02 PM

Edit

Narasi monolog


Narasi awal bagaimana blog ini tercipta bisa dibaca disini. Sehingga monolog yang akan saya tulis berikut ini tidak akan berkesan monoton.

Blog ini hanya memiliki satu sumber photographer, yang page facebook-nya dapat dilihat disini. Alasan saya memilih photographer ini karena sebuah alasan pribadi, dan sepertinya orang lain kurang begitu penting untuk tahu.
Blog ini mengambil foto dengan izin taupun tanpa izin dari si empunya foto, meskipun pada akhirnya dia akan tetap memberikan izin, karena saya dan alasan pribadi juga.
Blog ini bukan sebuah portofolio, terlalu sombong kalau saya menyebut begitu.
Blog ini Ini hanyalah sebuah cerita yang terujar dari hasil indera penglihatan saya terhadap sebuah objek visual. Cerita yang saya buat setelah melihat sebuah foto atau foto sebagai ilustrasi dari cerita yang sudah saya buat sebelumnya. Foto dan cerita yang saling melengkapi, seperti saya dan si photographer.

Blog ini punya nama Monolog Visual yang terdiri dari dua suku kata, visual dan monolog. Visual, segala sesuatu yang diciptakan untuk ditangkap indera penglihatan dan selanjutnya akan dimaknai. objektif atau subjektif itu hanya sebuah parameter, karena makna dihasilkan berbagai perspektif manusia. Sedangkan monolog adalah sebuah cerita yang ingin saya tuturkan, cerita yang mungkin menurut orang lain tidak penting namun sangat penting bagi saya. sebuah monolog akan visualisasi photographer hebat saya. Nama adalah do’a maka semoga saya tidak salah memilih namanya, semoga setiap monolog yang saya ungkapkan dapat menerjemahkan makna dari objek visual itu.
Akhirnya, selamat menjadi penikmat atau penghujat, itu terserah anda.

Sekian dan terima kasih :*

menteng, 141012, 02.30AM