![]() |
source: Ocra Photography |
Memperhatikan gambar diatas, saya langsung terpikir sebuah pembahasan terkait Identitas. Saya ingat saat duduk di kelas Cultural Studies, sebuah mata kuliah yang awalnya memperkenalkan diri menjadi sebuah momok namun lama-kelamaan menjadi candu. Segala hal tidak pernah mutlak, bukan oposisi biner dan terletak di area abu-abu, penilaian yang selalu diberi jawaban relative. Seperti potret tiga identitas diatas, yang cukup mewakili area abu-abu tersebut.
Penggambaran akan
identitas, momen pembentukan sebuah pribadi, dan bagaimana identitas tersebut
dideskripsikan kepada orang lain. Dalam Cultural studies, masalah identitas ini
mempermasalahkan bagaimana kita menjadi seperti apa kita sekarang. Bagaimana kita mengidentifikasi
diri kita (atau secara emosional menanamkan diri kita) dengan
diskripsi-diskripsi sebagai laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, tua
atau muda. Namun,
mereka yang punya keyakinan antiesensialisme mempunyai pendapar bahwa identitas
bukanlah suatu yang eksis. Identitas bukan hal yang ditemukan, namun ia
dibentuk dan diciptakan.
Sekarang, mari
kita sedikit menyederhanakan pembahasan tentang identitas ini. Selama ini yang
kita maksud sebagai identitas lebih pada sebuah bukti otentik pada selembar
kertas yang menyebutkan nama, profesi, dan data lain tentang seseorang. Bukti otentik
tersebut biasa kita sebut dengan KTP, ID card, SIM, dsb. Identitas tersebut
menjadi sangat penting sebagai sebuah bukti pengakuan seseorang menjadi “hak
milik” sebuah negara. Tanpa identitas, akhir-akhir ini kita akan dipertanyakan
statusnya, apakah illegal, atau teroris?.
Mencoba memaknai
identitas lebih dalam, maka akan kita peroleh penjelasan bahwa identitas adalah
hal yang diciptakan, bukan lagi hal yang taken for granted. Subjektivitas dan identitas merupakan produk khas budaya
yang bersifat tidak pasti (contingent).
Karenanya, identitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial.
Kembali
ke ilustrasi foto diatas, secara identitas dalam kertas, mereka ada dua,
laki-laki dan perempuan. Namun secara sosial dan budaya kita perlu melakukan
perhatian lebih untuk menginterpretasikannya. Identitas yang disebut Laki-laki
tersebut beberapa orang akan menyebut dia adalah sosok yang laki-laki banget,
bahkan kita tidak perlu mengecek jari kelingkingnya keriting atau tidak. Penilaian
lain, dia pasti anak band karena rambutnya mengingatkan pada seorang musisi. Bahkan
baju yang dia gunakan juga ingin menunjukkan dan mempertegas identitas
kelaki-lakiannya.
Bergeser
ke perempuan yang berada di tengah, dia menggunakan busana feminine yang
menunjukkan sosok perempuan memang seorang pribadi yang lembut, anggun seperti
baju yang ia kenakan. Bahasa tubuhnya juga harus diatur seperti priyayi kalau
orang jawa menyebutnya. Bandingkan dengan perempuan terakhir, dengan bahasa
tubuh tertawa lebar. Padahal, dalam budaya timur, perempuan itu semuanya harus
diatur, karena “saru” atau kurang baik bila tidak menjaga sopan santunnya.
Meskipun
perempuan terakhir memakai baju dengan lengan ‘lace’ atau borkrat, tapi
statement gambar di bagian depan itu menunjukkan kalau dia itu perempuan yang
maskulin. Gaya rambut berantakan tanpa perlu pita atau ditata serapi perempuan
sebelumnya juga memperkuat itu. Seharusnya
ada satu lagi penggambaran identitas di foto tersebut, lelaki rapi jali, atau
lelaki kulit porcelain, yang sekarang sedang hits. Lelaki yang ketika dia diam
tidak ketahuan apakah jari kelingkingnya keriting.
Semua penggambaran
identitas diatas cukup menunjukkan bahwa lingkungan, dan metamorphosis gaya
hidup sangat menentukan sebuah identitas seseorang. Sama halnya, kalau secara
sederhana )namun sedikit mengandung sara), seorang yang menikah beda agama dan
akhirnya memutuskan seagama maka ada identitas yang berubah di KTPnya.
Identitas
apa yang ingin kita pilih?. Kalau menurut saran saya identitas yang ingin anda
tunjukkan itu boleh sesubjektif mungkin, namun tetap mengingat kodrat mutlak
yang akan kita pertanggungjawabkan nanti. Selamat mencari identitas diri (sebuah kata-kata yang sering menjadi
statement seseorang ketika disuruh mendeskripsikan dirinya)….
Daftar bacaan = Barker, Chris. 2000. Cultural
Studies Teori Dan Praktik. Bantul (Yogyakarta): Kreasi Wacana.