Kamis, 14 Februari 2013

Edit

Menjadi anak-anak (lagi)?

Source: Ocra Photography


Rasanya semakin bertambah usia kenapa saya menjadi semakin takut akan resiko ya?. entah karena semakin dewasa dan banyak pertimbangan, membuat saya selalu berpikir tak hanya dua atau tiga kali untuk membuat keputusan. Atau bahkan yang paling parah adalah saya berusaha menghindar, pura-pura lupa atau mendadak amnesia akan sebuah masalah. Ketika ditanya baru pasang muka kaget dan berkata “ups lupa”. Well, damn it’s true!!.

Terkadang ingin menjadi anak-anak lagi, tanpa rasa takut bahkan menilai larangan seolah menjadi sebuah perintah. Masih ingat kata-kata orang tua saya dulu ketika kita melakukan hal yang mereka larang?. “hmmmm dipenging kok koyok dikongkon” (diperingatkan kok seperti disuruh). Tak lain tak bukan, seorang anak kecil secara psikologisnya mereka tak tahu apa resikonya, sehingga mereka tak akan mau berhenti bila mereka tak mencoba. Meskipun terkadang orang tua mereka sudah memberikan pengertian dengan pintar dan diplomatisnya, tapi anak-anak tetaplah anak-anak.

Tulisan ini boleh saja dikaitkan dengan tulisan sebelumnya, namun saya tidak memberikan embel-embel part karena memang tak ada rencana untuk itu. Saya hanya memperhatikan potret dua anak yang sedang bermain di bibir rawa-rawa diatas. Dua anak ini pasti sudah diperingatkan untuk berhati-hati dalam bermain, namun kalau kita perhatikan anak yang berbaju orange dengan santainya tengkurap dengan posisi kaki dan tangan yang sudah melebihi batas.

Mungkin mereka pada awalnya hanya bermain di pinggir, lalu salah satu melihat refleksi bayangan mereka di permukaan air, setelah itu mereka memperbandingkan rambut kuncung mereka. Percakapan kembali berlanjut dengan asyiknya tanpa sadar yang berbaju orange sudah dengan ambil posisi pewe. Lalu percakapan pun berlanjut dengan saling bertanya kenapa mereka harus hati-hati agar tidak jatuh. Lalu mereka mulai mengambil kerikil dilempar ke rawa, lalu….terserah bagaimana teman-teman mengakhiri percakapan mereka, yang pasti rasa ingin tahu mereka mengalahkan ketakutan mereka.

Semakin dewasa memang harus semakin memiliki banyak pertimbangan, namun terlalu lama mempertimbangkan tak akan membuat kita menjadi lebih bijak. Manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna karena mempunyai akal. Namun, manusia terkadang dengan tanpa bersalah nylimur atau lari dari fakta itu. Mereka memilih tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak menjawab akan masalah di sekitarnya. Pertanyaannya sekarang adalah, kemana keberanian itu?, Kemana rasa ingin tahu itu?, Kemana?.
Menteng,  140213, 08:10PM

Senin, 11 Februari 2013

Edit

Anak-anak itu tetaplah anak-anak

Source: Ocra Photography

Saya sering berujar kalau saya tidak sepenuhnya suka dengan anak-anak. Saya pemilih untuk mau bercengkerama dengan anak seperti apa. Namun, ternyata bahasa tubuh saya berkata lain. Banyak yang mengatakan saya ini pecinta anak-anak, Anak-anak kebanyakan suka nempel ke saya kalau sudah sedikit ada ice breaking, memecah kekakuan.

Hal yang kadang saya sendiri heran adalah ketika mengatakan; "aku gak gitu suka sama anak-anak tapi pengen punya sekolah buat anak-anak". Semacam playground atau sekolah untuk anak di usia golden age, kalau kata iklan di tv. Entahlah, bagaimana saya bisa melakukan sebuah pertentangan tanpa alasan. Mungkin, memang pada dasarnya saya memang menyukai anak-anak atau lebih karena saya selalu merasa senang apabila berhasil menerapkan suatu dogma, ajaran yang akhirnya bisa anak-anak terapkan. *maaf kalau pemilihan katanya sedikit lebay J

Mungkin sebenarnya secara sadar tidak sadar, karena banyaknya keponakan dari keluarga ayah ataupun ibuk membuat saya terbiasa dengan anak kecil. Mulai dari mereka masih bayi sampai mereka bisa berlari, saya tahu pola komunikasi orang tua mereka, dan kebiasaaan anak itu sendiri. Dan kebetulan yang memang benar, di keluarga saya mendidik anak-anak dengan memberikan mereka pengertian, bukan paksaan. Memberikan pengertian bila jatuh itu sakit, dan kalau anak-anak tidak percaya kita masih sedikit membiarkan sampai dia benar-benar merasakan sakitnya, lalu menangis. Dari situ anak-anak akan lebih mengerti dan lebih berhati-hati. Sebuah experiential learning kan? :D

Saya mulai ngelantur lagi ya?. Padahal saya cuma pengen kasih narasi di potret di atas. Bagaimana anak-anak itu punya hak untuk bermain-main, di lahan yang luas tentunya. Potret di atas saya analogikan sebagai ilustrasi keadaan anak-anak saat ini. Tak ada tanah yang lapang untuk mereka berlarian, main sepak bola, menangkap capung, dan lainnya. Dari gambar sang anak terlihat ragu, mereka ingin lari lepas tapi takut bila laut didepannya itu dalam ataupun tiba-tiba pasang. Seperti saat ini, ketika mereka ingin berlarian mengejar bola ketakutan akan kendaraan yang lewat tak bisa diprediksi. Bahkan beberapa hari yang lalu waktu saya pulang dini hari, melihat seorang anak kecil sedang mencoba menerbangkan layang-layang yang tak bisa mereka lakukan di siang hari. miris!!

Potret anak yang tinggal di pemukiman padat, membuat saya sering mengelus dada, karena tak hanya lahan bermain mereka yang diperebutkan. Gaya bicara mereka pun dicemari, anak kecil sekarang lebih suka mengumpat atau menyumpahi orang. Tak punya unggah ungguh, sopan santun, mereka liar suka menyalak. Hingga membuat saya takut nantinya harus mendidik anak seperti apa, namun yang pasti saya tidak mau membesarkan anak di metropolitan yang kejam ini.

Jadi ingat sebuah quote; think global act local. A local wisdom I think will be the best way to courage our children J

Kalau kau ingin tahu seberapa dalam laut itu cobalah sendiri, kau yang bisa mengukurnya nak, kita disini akan tetap mengawasimu, kalaupun ada bahaya kami siap menarikmu kembali ke darat kok, “ujar seorang ibu kepada anaknya yang takut bermain di laut”

Menteng, 110213, 1:51 pm