![]() |
Source: Ocra Photography |
Saya sering berujar kalau saya tidak sepenuhnya suka dengan
anak-anak. Saya pemilih untuk mau bercengkerama dengan anak seperti apa. Namun,
ternyata bahasa tubuh saya berkata lain. Banyak yang mengatakan saya ini
pecinta anak-anak, Anak-anak kebanyakan suka nempel ke saya kalau sudah sedikit
ada ice breaking, memecah kekakuan.
Hal yang kadang saya sendiri heran adalah ketika mengatakan; "aku gak gitu suka sama anak-anak tapi pengen punya sekolah buat anak-anak".
Semacam playground atau sekolah untuk anak di usia golden age, kalau kata iklan
di tv. Entahlah, bagaimana saya bisa melakukan sebuah pertentangan tanpa
alasan. Mungkin, memang pada dasarnya saya memang menyukai anak-anak atau lebih
karena saya selalu merasa senang apabila berhasil menerapkan suatu dogma,
ajaran yang akhirnya bisa anak-anak terapkan. *maaf kalau pemilihan katanya
sedikit lebay J
Mungkin sebenarnya secara sadar tidak sadar, karena
banyaknya keponakan dari keluarga ayah ataupun ibuk membuat saya terbiasa
dengan anak kecil. Mulai dari mereka masih bayi sampai mereka bisa berlari,
saya tahu pola komunikasi orang tua mereka, dan kebiasaaan anak itu sendiri.
Dan kebetulan yang memang benar, di keluarga saya mendidik anak-anak dengan
memberikan mereka pengertian, bukan paksaan. Memberikan pengertian bila jatuh
itu sakit, dan kalau anak-anak tidak percaya kita masih sedikit membiarkan
sampai dia benar-benar merasakan sakitnya, lalu menangis. Dari situ anak-anak
akan lebih mengerti dan lebih berhati-hati. Sebuah experiential learning kan?
:D
Saya mulai ngelantur lagi ya?. Padahal
saya cuma pengen kasih narasi di potret di atas. Bagaimana anak-anak itu punya
hak untuk bermain-main, di lahan yang luas tentunya. Potret di atas saya
analogikan sebagai ilustrasi keadaan anak-anak saat ini. Tak ada tanah yang
lapang untuk mereka berlarian, main sepak bola, menangkap capung, dan lainnya.
Dari gambar sang anak terlihat ragu, mereka ingin lari lepas tapi takut bila
laut didepannya itu dalam ataupun tiba-tiba pasang. Seperti saat ini, ketika
mereka ingin berlarian mengejar bola ketakutan akan kendaraan yang lewat tak
bisa diprediksi. Bahkan beberapa hari yang lalu waktu saya pulang dini hari, melihat
seorang anak kecil sedang mencoba menerbangkan layang-layang yang tak bisa mereka
lakukan di siang hari. miris!!
Potret anak yang tinggal di
pemukiman padat, membuat saya sering mengelus dada, karena tak hanya lahan
bermain mereka yang diperebutkan. Gaya bicara mereka pun dicemari, anak kecil
sekarang lebih suka mengumpat atau menyumpahi orang. Tak punya unggah ungguh,
sopan santun, mereka liar suka menyalak. Hingga membuat saya takut nantinya
harus mendidik anak seperti apa, namun yang pasti saya tidak mau membesarkan
anak di metropolitan yang kejam ini.
Jadi ingat sebuah quote; think global act local. A local
wisdom I think will be the best way to courage our children J
Kalau kau ingin tahu seberapa dalam laut itu cobalah sendiri, kau yang
bisa mengukurnya nak, kita disini akan tetap mengawasimu, kalaupun ada bahaya
kami siap menarikmu kembali ke darat kok, “ujar seorang ibu kepada anaknya yang
takut bermain di laut”
Menteng, 110213, 1:51 pm
Tulisan dan Idemu bagus Nak... :)... By Azza and Aris.
BalasHapusterima kasiiihhh, nanti anaknya dijak urip ndik ndeso saja yaaa :)))
BalasHapus