Senin, 11 Februari 2013

Edit

Anak-anak itu tetaplah anak-anak

Source: Ocra Photography

Saya sering berujar kalau saya tidak sepenuhnya suka dengan anak-anak. Saya pemilih untuk mau bercengkerama dengan anak seperti apa. Namun, ternyata bahasa tubuh saya berkata lain. Banyak yang mengatakan saya ini pecinta anak-anak, Anak-anak kebanyakan suka nempel ke saya kalau sudah sedikit ada ice breaking, memecah kekakuan.

Hal yang kadang saya sendiri heran adalah ketika mengatakan; "aku gak gitu suka sama anak-anak tapi pengen punya sekolah buat anak-anak". Semacam playground atau sekolah untuk anak di usia golden age, kalau kata iklan di tv. Entahlah, bagaimana saya bisa melakukan sebuah pertentangan tanpa alasan. Mungkin, memang pada dasarnya saya memang menyukai anak-anak atau lebih karena saya selalu merasa senang apabila berhasil menerapkan suatu dogma, ajaran yang akhirnya bisa anak-anak terapkan. *maaf kalau pemilihan katanya sedikit lebay J

Mungkin sebenarnya secara sadar tidak sadar, karena banyaknya keponakan dari keluarga ayah ataupun ibuk membuat saya terbiasa dengan anak kecil. Mulai dari mereka masih bayi sampai mereka bisa berlari, saya tahu pola komunikasi orang tua mereka, dan kebiasaaan anak itu sendiri. Dan kebetulan yang memang benar, di keluarga saya mendidik anak-anak dengan memberikan mereka pengertian, bukan paksaan. Memberikan pengertian bila jatuh itu sakit, dan kalau anak-anak tidak percaya kita masih sedikit membiarkan sampai dia benar-benar merasakan sakitnya, lalu menangis. Dari situ anak-anak akan lebih mengerti dan lebih berhati-hati. Sebuah experiential learning kan? :D

Saya mulai ngelantur lagi ya?. Padahal saya cuma pengen kasih narasi di potret di atas. Bagaimana anak-anak itu punya hak untuk bermain-main, di lahan yang luas tentunya. Potret di atas saya analogikan sebagai ilustrasi keadaan anak-anak saat ini. Tak ada tanah yang lapang untuk mereka berlarian, main sepak bola, menangkap capung, dan lainnya. Dari gambar sang anak terlihat ragu, mereka ingin lari lepas tapi takut bila laut didepannya itu dalam ataupun tiba-tiba pasang. Seperti saat ini, ketika mereka ingin berlarian mengejar bola ketakutan akan kendaraan yang lewat tak bisa diprediksi. Bahkan beberapa hari yang lalu waktu saya pulang dini hari, melihat seorang anak kecil sedang mencoba menerbangkan layang-layang yang tak bisa mereka lakukan di siang hari. miris!!

Potret anak yang tinggal di pemukiman padat, membuat saya sering mengelus dada, karena tak hanya lahan bermain mereka yang diperebutkan. Gaya bicara mereka pun dicemari, anak kecil sekarang lebih suka mengumpat atau menyumpahi orang. Tak punya unggah ungguh, sopan santun, mereka liar suka menyalak. Hingga membuat saya takut nantinya harus mendidik anak seperti apa, namun yang pasti saya tidak mau membesarkan anak di metropolitan yang kejam ini.

Jadi ingat sebuah quote; think global act local. A local wisdom I think will be the best way to courage our children J

Kalau kau ingin tahu seberapa dalam laut itu cobalah sendiri, kau yang bisa mengukurnya nak, kita disini akan tetap mengawasimu, kalaupun ada bahaya kami siap menarikmu kembali ke darat kok, “ujar seorang ibu kepada anaknya yang takut bermain di laut”

Menteng, 110213, 1:51 pm

2 komentar:

  1. Tulisan dan Idemu bagus Nak... :)... By Azza and Aris.

    BalasHapus
  2. terima kasiiihhh, nanti anaknya dijak urip ndik ndeso saja yaaa :)))

    BalasHapus